Friday, October 16, 2015

MENG SM-3T KAN DIRI



Pernah saya dengar dari seorang motivator bahwa mau menjadi orang yang sukses yaitu keluar dari zona nyaman. Kenapa harus keluar zona nyaman kalau dengan begini bisa menginginkan apa saja? Sebuah cerita dari buku yang berjudul “Setengah Utuh Setengah Pecah”. Salah satu sub temanya yaitu Burung Pelikan “Pungno-pungna”.

“Di salah satu wilayah di Amerika terpatnya California, burung pelikan terkenal sebagai burung yang tangguh dalam mencari ikan. Beberapa ahli mengatakan burung pelikan diibaratkan dengan rajawalinya laut karena kepiawaiannya tersebut. Pelabuhan-pelabuhan di sekitar laut terus berkembang, yang tadinya sekadar tempat berlabuhnya kapal-kapal, kini sudah menjadi tempat pelelangan ikan. Burung pelikan yang tadinya berjuang di tengah laut, kini muali bergeser mendekati pelabuhan setiap pagi untuk mengambil sisa pembuangan ikan dan menjadi santapan tiap hari. Situasi ini berlangsung lama dan bertahun-tahun, sehingga burung-burung pelikan ini menjadi gendut dan malas. Berjalannya waktu tempat pelelangan ikan ini berubah menjadi suatu kawasan industri peti kemas, dan tempat pelelangan ikan pun tergerus akibat kebutuhan industri yang sangat padat. Sedangkan burung pelikan setia menunggu ikan yang tak kunjung tiba dan akhirnya mati kelaparan.”
Bermula dari tanggal 1 Agustus 2014 perjalanan saya hingga pulau flores bermula. Resignt dari sebuah pekerjaan yang cukup nyaman dan bergairah dari segi salary, untuk seseorang  yang baru bekerja adalah sebuah keputusan yang menurut saya konyol. Entah apa yang saya harapkan dari menjadi salah satu pengajar di SM-3T.
Waktu yang menurut saya sangat mepet untuk mengisi amunisi semangat dari keluarga saya manfaatkan betul di minggu-minggu akhir mengikuti prakondisi. Tanggal 12 saya berangkat untuk mengikuti prakonsidi selama 12 hari di Sinode, Salatiga. Banyak harapan dan semangat untuk manjadi pelopor “Mari Bersama Mencerdaskan Indonesia” ini. Serasa menjadi pahlawan yang entah aneh ketika saya juga ikut menyematkan di diri saya.
Jadwal prakondisi cukup padat, pagi hingga sore terus selama masa persiapan. Menarik dan banyak informasi yang saya dapatkan dari instruktur-instruktur beserta kawan-kawan yang seolah meyakinkan saya untuk terus maju melangkah terlibat dalam pembangunan bangsa melalui pendidikan. Doa seorang ayah dan bunda yang terus mengalir menambah keyakinan saya selalu memberi hal baik kelak ketika sudah dipenempatan.
Selang sehari prakondisi pengumuman penempatan diterbitkan. Seolah merasa Allah selalu memelukku dengan menjabah doa-doa orang terkasih saya. Keinginan orang tua untuk mendapat tempat yang baik, aman dan nyaman pun menjadikan Ende sebagai tempat berlabuh setahun saya di pulau Flores.
Hari yang menanti tuk ditunggu pun tiba, Rabu, 27 Agustus 2014 menjadi salah satu catatan sejarah bagi saya untuk mengawali sebuah perubahan sikap, mental dan tentunya keimanan saya. Terinjak sudah saya di tanah rantau kedua saya setelah Semarang. Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Pulau Flores, Indonesia.
Seperti orang bingung dan tercengang melihat keindahan alam di kota Ende. Bukit yang mengelilingi kota dan pantai yang memeluk bukit dalam kota menjadikan “Waoo sekali” bagi pribadi saya. Walaupun saya belum tau pelabuhan terakhir di Ende di kecamatan apa?
Seminggu lamanya saya tiggal di hotel Safari, salah satu hotel yang berada di pusat kota Ende. Masih dalam kota sehingga fasilitas semua terpenuhi. Mini market, pasar tradisional, bengkel, warnet hingga salon banyak pilihan di sini. Merasa heran, “katanya SM3T kok ada semua?” dalam benak saya yang baru pemanasan di pulau flores ini.
Seorang bapak asuh kami disini, beliau Drs. Supriyanto, MT. Kepala Kantor Pengolahan Data dan Telematika Kabupaten Ende yang menerima kami SM-3T LPTK UNNES untuk tinggal dan menjadikan rumahnya sebagai basecamp SM-3T UNNES. Kami panggil beliau Pa’de. Bu’de Yuni adalah istri beliau yang diberi karunia 2 anak yang masing-masing berada di Tasikmalaya dan Yogyakarta. Begitu juga bu’de yang saat ini sedang melangsungkan pendidikan S2-nya di pascasarjana UNNES. Sehingga keluarga pa’de ini tidak kumpul satu rumah, kami yang berkumpul untuk menemani keramaian rumah pa’de.
Selama di Ende sebelum ditempatkan saya sudah berkunjung di Rumah Pengasingan Bung Karno, Monumen Pancasila hingga danau yang terkenal dengan tiga warnanya, Danau Kelimutu namanya. Wisata bertaraf Internasional saya dapatkan gratis dari bupati Ende. Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT.
Selama di Ende pun saya betanya-tanya, sebenarnya tempat mana yang akan menjadi pelabuhan saya selama setahun disini. Kamis, 4 September 2014 kaki ini bertekat melangkah dengan semangat dan ikhlas mengabdi di kecamatan Desa kotabaru dan SMK Negeri 4 Ende menjadi kendaraan saya untuk bermanufer mengajak siswa berkeliling dunia melalui pembelajaran. Bayangan yang tidak saya sangka, karena saya berfikir akan mendapat tempat yang sulit. Ternyata tongkat dan batu jadi tumbuhan, tanah yang subur, air yang melimpah dan tentunya listrik beserta sinyal yang nggak mau ketinggalan pun ada. Doa ini yang selalu kami panjatkan kepada Mu ya Allah.
Saya tinggal di ibu kost, namanya mama aloysa. Seorang janda beranak 6 yang selalu tersenyum walauoun keadaan sedang tak bersahabat dengan beliau. Ladang yang luas menjadi pondasi untuk menyambung hari demi hari. Suara keras dan lantang ciri khas mama kos ku ini. Dan kalau sudang minum kopi, “behhhhhhhhhh” kuat sekali bisa sampai 6 gelas sehari. Tergantung dengan tamu yang dataang. Disini pula kopi menjadi sahabat saya setiap hari, padahal saya stop 6 bulan lalu untk menikmati kopi karena asam lambung naik. Tetapi semnjak disini normal dan amannnn.
SMK Negeri 4 Ende, sekolah yang hanya ada 6 kelas terbagi menjadi dua konsentrasi jurusana yaitu Peternakan dan Perikanan. Jumlah siswa keseluruhan 54, itu kalau masuk semua. Entah apa yang membuat mereka seolah-olah sekolah hanya sebagai formalitas belaka. Hal tersebut tak matang untuk menjadi permasalahan utama, karena yang perlu dibenahi sebenarnya yaitu SDM alias Sumber Daya Manusia nya, siapa? Guru.
Guru disini beda sekali dengan dijawa. Mungkin dijawa sekali membolos atau tidak masuk dengan surat akan dipertanyakan, sedangka di SMK Negeri 4 Ende ini, jangankan sehari, dua minggu pun tidak ada peringatan. Hal ini yang perlu dikaji lagi oleh pemerintah, dan menurut saya bukan pemerintah daerah yang mengawasi tapi pemerintah pusat dan pelaku pendidikan yang berkompeten yang turun untuk melihat langsung proses pembelajaran disekolah. Sehingga bisa mengkaji dan meneliti bagaimana solusi yang tepat untuk memberikan stimulus daerah yang tergolong 3T.
Saya sebagai SM-3T hanya bisa mengikuti dan memberi contoh yang baik di sini. Kenapa? Watak yang keras dan jiwa yang tak sesuai menjadi problem utama SDM di kotabaru ini. Ketika hasil yang didapat cepat mungkin mereka mau melakukan, tetapi pendidikan adalah proses yang bisa dipanen ketika anak mendapat moment pribadi tersebut.
Wawasan yang kurang dan pendidikan dirumah yang kurang tepat diterapkan untuk anak, menimbukan bibit watak yang tak berubah dari masa kemasa. Kalau tidak dipukul atau disabet dengan kayu belum mau mendengarkan dan melakuka aa yaang diperintahkan. Hali itu sejak anak masih digendongan sang ibu dan beranjak di TK, SD, SMP bahkan SMK. Sehingga badan mereka sudah ngapal atau kebal dengan hal-hal yang demkian.
Miris tetapi bagaimana lagi? Ini Indonesia. Potret anda pembaca WNI. Bukan salah siapa, namun bagaimana kita bersama menggali dan memperbaiki bersama. Bagaimana kami bisa membantu, kami hanya sarjana yang baru diwisuda, kami merasa tak didukung pemerinta daerah sendiri. Diam, dosa sudah kita mendiamkan hal yang kurang baik. Mungkin saat ini perlu sock terapi untuk semua pegawai negeri sipil supaya sadar.
Hal itu menjadi salah satu alasan saya untuk bertekad mencerdaskan bangsa melalui SM-3T dan menguji diri dan kemampuan saya untuk mengarungi samudra dihari-hari yang akan saya lalui. Sebuah keyakinan yang kuat bagi saya untuk melangkah menuju masa depan.

No comments:

Post a Comment