Pernah saya dengar dari
seorang motivator bahwa mau menjadi orang yang sukses yaitu keluar dari zona
nyaman. Kenapa harus keluar zona nyaman kalau dengan begini bisa menginginkan
apa saja? Sebuah cerita dari buku yang berjudul “Setengah Utuh Setengah Pecah”.
Salah satu sub temanya yaitu Burung Pelikan “Pungno-pungna”.
“Di salah satu wilayah
di Amerika terpatnya California, burung pelikan terkenal sebagai burung yang
tangguh dalam mencari ikan. Beberapa ahli mengatakan burung pelikan diibaratkan
dengan rajawalinya laut karena kepiawaiannya tersebut. Pelabuhan-pelabuhan di
sekitar laut terus berkembang, yang tadinya sekadar tempat berlabuhnya
kapal-kapal, kini sudah menjadi tempat pelelangan ikan. Burung pelikan yang
tadinya berjuang di tengah laut, kini muali bergeser mendekati pelabuhan setiap
pagi untuk mengambil sisa pembuangan ikan dan menjadi santapan tiap hari.
Situasi ini berlangsung lama dan bertahun-tahun, sehingga burung-burung pelikan
ini menjadi gendut dan malas. Berjalannya waktu tempat pelelangan ikan ini
berubah menjadi suatu kawasan industri peti kemas, dan tempat pelelangan ikan
pun tergerus akibat kebutuhan industri yang sangat padat. Sedangkan burung
pelikan setia menunggu ikan yang tak kunjung tiba dan akhirnya mati kelaparan.”
Bermula dari tanggal 1
Agustus 2014 perjalanan saya hingga pulau flores bermula. Resignt dari sebuah
pekerjaan yang cukup nyaman dan bergairah dari segi salary, untuk seseorang yang baru bekerja adalah sebuah keputusan
yang menurut saya konyol. Entah apa yang saya harapkan dari menjadi salah satu
pengajar di SM-3T.
Waktu yang menurut saya
sangat mepet untuk mengisi amunisi semangat dari keluarga saya manfaatkan betul
di minggu-minggu akhir mengikuti prakondisi. Tanggal 12 saya berangkat untuk
mengikuti prakonsidi selama 12 hari di Sinode, Salatiga. Banyak harapan dan
semangat untuk manjadi pelopor “Mari Bersama Mencerdaskan Indonesia” ini.
Serasa menjadi pahlawan yang entah aneh ketika saya juga ikut menyematkan di
diri saya.
Jadwal prakondisi cukup
padat, pagi hingga sore terus selama masa persiapan. Menarik dan banyak
informasi yang saya dapatkan dari instruktur-instruktur beserta kawan-kawan
yang seolah meyakinkan saya untuk terus maju melangkah terlibat dalam
pembangunan bangsa melalui pendidikan. Doa seorang ayah dan bunda yang terus
mengalir menambah keyakinan saya selalu memberi hal baik kelak ketika sudah
dipenempatan.
Selang sehari
prakondisi pengumuman penempatan diterbitkan. Seolah merasa Allah selalu
memelukku dengan menjabah doa-doa orang terkasih saya. Keinginan orang tua
untuk mendapat tempat yang baik, aman dan nyaman pun menjadikan Ende sebagai
tempat berlabuh setahun saya di pulau Flores.
Hari yang menanti tuk
ditunggu pun tiba, Rabu, 27 Agustus 2014 menjadi salah satu catatan sejarah
bagi saya untuk mengawali sebuah perubahan sikap, mental dan tentunya keimanan
saya. Terinjak sudah saya di tanah rantau kedua saya setelah Semarang.
Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Pulau Flores, Indonesia.
Seperti orang bingung
dan tercengang melihat keindahan alam di kota Ende. Bukit yang mengelilingi
kota dan pantai yang memeluk bukit dalam kota menjadikan “Waoo sekali” bagi
pribadi saya. Walaupun saya belum tau pelabuhan terakhir di Ende di kecamatan
apa?
Seminggu lamanya saya
tiggal di hotel Safari, salah satu hotel yang berada di pusat kota Ende. Masih
dalam kota sehingga fasilitas semua terpenuhi. Mini market, pasar tradisional,
bengkel, warnet hingga salon banyak pilihan di sini. Merasa heran, “katanya
SM3T kok ada semua?” dalam benak saya yang baru pemanasan di pulau flores ini.
Seorang bapak asuh kami
disini, beliau Drs. Supriyanto, MT. Kepala Kantor Pengolahan Data dan
Telematika Kabupaten Ende yang menerima kami SM-3T LPTK UNNES untuk tinggal dan
menjadikan rumahnya sebagai basecamp SM-3T UNNES. Kami panggil beliau Pa’de.
Bu’de Yuni adalah istri beliau yang diberi karunia 2 anak yang masing-masing
berada di Tasikmalaya dan Yogyakarta. Begitu juga bu’de yang saat ini sedang
melangsungkan pendidikan S2-nya di pascasarjana UNNES. Sehingga keluarga pa’de
ini tidak kumpul satu rumah, kami yang berkumpul untuk menemani keramaian rumah
pa’de.
Selama di Ende sebelum
ditempatkan saya sudah berkunjung di Rumah Pengasingan Bung Karno, Monumen
Pancasila hingga danau yang terkenal dengan tiga warnanya, Danau Kelimutu
namanya. Wisata bertaraf Internasional saya dapatkan gratis dari bupati Ende.
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT.
Selama di Ende pun saya
betanya-tanya, sebenarnya tempat mana yang akan menjadi pelabuhan saya selama
setahun disini. Kamis, 4 September 2014 kaki ini bertekat melangkah dengan
semangat dan ikhlas mengabdi di kecamatan Desa kotabaru dan SMK Negeri 4 Ende
menjadi kendaraan saya untuk bermanufer mengajak siswa berkeliling dunia
melalui pembelajaran. Bayangan yang tidak saya sangka, karena saya berfikir
akan mendapat tempat yang sulit. Ternyata tongkat dan batu jadi tumbuhan, tanah
yang subur, air yang melimpah dan tentunya listrik beserta sinyal yang nggak
mau ketinggalan pun ada. Doa ini yang selalu kami panjatkan kepada Mu ya Allah.
Saya tinggal di ibu
kost, namanya mama aloysa. Seorang janda beranak 6 yang selalu tersenyum
walauoun keadaan sedang tak bersahabat dengan beliau. Ladang yang luas menjadi
pondasi untuk menyambung hari demi hari. Suara keras dan lantang ciri khas mama
kos ku ini. Dan kalau sudang minum kopi, “behhhhhhhhhh” kuat sekali bisa sampai
6 gelas sehari. Tergantung dengan tamu yang dataang. Disini pula kopi menjadi
sahabat saya setiap hari, padahal saya stop 6 bulan lalu untk menikmati kopi
karena asam lambung naik. Tetapi semnjak disini normal dan amannnn.
SMK Negeri 4 Ende,
sekolah yang hanya ada 6 kelas terbagi menjadi dua konsentrasi jurusana yaitu
Peternakan dan Perikanan. Jumlah siswa keseluruhan 54, itu kalau masuk semua.
Entah apa yang membuat mereka seolah-olah sekolah hanya sebagai formalitas
belaka. Hal tersebut tak matang untuk menjadi permasalahan utama, karena yang
perlu dibenahi sebenarnya yaitu SDM alias Sumber Daya Manusia nya, siapa? Guru.
Guru disini beda sekali
dengan dijawa. Mungkin dijawa sekali membolos atau tidak masuk dengan surat
akan dipertanyakan, sedangka di SMK Negeri 4 Ende ini, jangankan sehari, dua
minggu pun tidak ada peringatan. Hal ini yang perlu dikaji lagi oleh
pemerintah, dan menurut saya bukan pemerintah daerah yang mengawasi tapi
pemerintah pusat dan pelaku pendidikan yang berkompeten yang turun untuk
melihat langsung proses pembelajaran disekolah. Sehingga bisa mengkaji dan
meneliti bagaimana solusi yang tepat untuk memberikan stimulus daerah yang
tergolong 3T.
Saya sebagai SM-3T
hanya bisa mengikuti dan memberi contoh yang baik di sini. Kenapa? Watak yang
keras dan jiwa yang tak sesuai menjadi problem utama SDM di kotabaru ini.
Ketika hasil yang didapat cepat mungkin mereka mau melakukan, tetapi pendidikan
adalah proses yang bisa dipanen ketika anak mendapat moment pribadi tersebut.
Wawasan yang kurang dan
pendidikan dirumah yang kurang tepat diterapkan untuk anak, menimbukan bibit
watak yang tak berubah dari masa kemasa. Kalau tidak dipukul atau disabet
dengan kayu belum mau mendengarkan dan melakuka aa yaang diperintahkan. Hali
itu sejak anak masih digendongan sang ibu dan beranjak di TK, SD, SMP bahkan
SMK. Sehingga badan mereka sudah ngapal atau kebal dengan hal-hal yang demkian.
Miris tetapi bagaimana
lagi? Ini Indonesia. Potret anda pembaca WNI. Bukan salah siapa, namun
bagaimana kita bersama menggali dan memperbaiki bersama. Bagaimana kami bisa
membantu, kami hanya sarjana yang baru diwisuda, kami merasa tak didukung
pemerinta daerah sendiri. Diam, dosa sudah kita mendiamkan hal yang kurang
baik. Mungkin saat ini perlu sock terapi untuk semua pegawai negeri sipil
supaya sadar.
Hal itu menjadi salah
satu alasan saya untuk bertekad mencerdaskan bangsa melalui SM-3T dan menguji
diri dan kemampuan saya untuk mengarungi samudra dihari-hari yang akan saya
lalui. Sebuah keyakinan yang kuat bagi saya untuk melangkah menuju masa depan.
No comments:
Post a Comment